Darurat Sipil Dinilai Tak Tepat Untuk Tangani Covid-19
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin. Foto : Oji/Man
Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mengkritisi kebijakan yang diambil Presiden Joko Widodo untuk menanangani wabah virus Corona (Covid-19). Ia mempertanyakan hubungan darurat sipil dengan pandemi virus Corona di Indonesia. Menurutnya, status darurat sipil atau militer merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Diketahui, Presiden Jokowi dalam waktu dekat akan menerbitkan Perppu untuk penanganan wabah virus Corona di Indonesia. Pemerintah mulai memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan penjarakan fisik demi mencegah penularan. Presiden Jokowi juga menetapkan status darurat sipil sebagai landasan pemberlakuan dua kebijakan tersebut.
“Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tidak mengatur kondisi bencana pandemik/wabah penyakit. Perppu 23/1959 mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perang, bencana perang, pemberontakan, kerusuhan dan bencana alam," ujar Hasanuddin dalam rilissnya Senin (30/3/2020). Ia mengungkapkan Perppu 23/1959 memiliki semangat militeristik dan tersentral kepada Pemerintah Pusat sebagai Penguasa Darurat Sipil/militer.
Selain itu ia menegaskan, dalam hal ini Pasal 1 ayat (1)c tentang keadaan khusus dan keadaan bahaya negara tidak memiliki penjelasan yang cukup jelas/multitafsir. "Perlu kebutuhan untuk menyusun parameter ketat dalam mengklasifikasi “keadaan khusus” atau keadaan yang berbahaya bagi negara," ungkap politisi PDI-Perjuangan ini.
Ia menilai, bila dilihat rohnya Perppu 23/ 1959 itu murni semacam pemulihan keamanan usai pemberontakan, kerusuhan atau akibat bencana alam yang dikhawatirkan dapat membahayakan hidup negara, bukan untuk wabah atau pandemi. Hasanuddin khawatir bila diberlakukan Darurat sipil, aktivitas warga akan terbelenggu.
Karena, dalam Perppu 23/159 disebutkan penguasa darurat sipil berhak membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan serta perdagangan serta berhak mengetahui percakapan telepon dan melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi. "Penguasa Darurat Sipil membatasi orang di luar rumah dan berhak melarang semua kegiatan publik dengan dalih negara sedang darurat. Ini cukup mengkhawatirkan, ini beda sekali dengan karantina dalam mengatasi pandemik, “ ujar legislator dapil Jawa Barat IX itu.
Hasanuddin menyarankan agar pemerintah memberlakukan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan secara sungguh-sungguh dan melengkapi peraturan pendukungnya seperti PP, Peraturan Menteri dan lain lain. Ditambah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit, atau membuat Perppu tentang penanggulangan bahaya Corona. “Jangan tergesa-gesa bicara kerusuhan atau darurat, karena Perppu ini tak relevan diberlakukan untuk mengatasi epidemi Corona,” tandasnya. (ann/sf)